Dr Wisnu Ananta Ungkap Peran Kecerdasan Buatan dalam Pengembangan Pengobatan Presisi
Perkembangan teknologi informasi mendorong berkembangnya pendekatan baru dalam pencarian obat. Dengan Artificial Intelligence (AI), terutama Machine Learning, kini dunia bisa mengembangkan pengobatan yang bersifat presisi sesuai profil genetik pasien, yang umum disebut dengan Precision Medicine.
Dr Wisnu Ananta Kusuma, dosen IPB University dari Departemen Ilmu Komputer Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) menjelaskan, precision medicine memerlukan integrasi data dari berbagai tipe dan format, meliputi data omics, data citra (image), data dari sensor, data klinis dan berbagai data lainnya yang mewakili fenotipe. Namun saat ini, banyak penelitian lebih berfokus pada pengolahan data omics, khususnya untuk pencarian biomarker dari genomik, transkriptomik, maupun proteomik.
“Membuat model asosiasi antara fenotipe dan genotipe, atau Genome-Wide Association Studies (GWAS) adalah salah satu kunci keberhasilan pengembangan precision medicine. Pengembangan precision medicine ini memerlukan siklus perbaikan terus menerus dan analisis secara komprehensif untuk menemukan obat yang tepat atau presisi dalam upaya mengatasi penyakit kompleks,” ujarnya dalam AI Talks Institut Teknologi Bandung (ITB) seri ke-4 dengan topik “The Role of Artificial Intelligence in Precision/Personalized Medicine’, 25/08.
Pengembangan precision medicine, lanjut Dr Wisnu, memerlukan pendekatan multi-level dan multi-skala. Analisis dapat dimulai dari level yang lebih makro, yaitu penyakit. Kemudian lebih rinci ke level seluler, lalu ke level molekul. Namun, bisa saja dimulai dari level yang paling mikro yaitu molekul, kemudian diperluas ke level seluler sampai level penyakit.
“Adapun multi skala karena pendekatan ini memerlukan berbagai data omics dari mulai genomik, transkriptomik, proteomik dan metabolomik. AI diperlukan untuk menganalisis data tiap level dan mengintegrasikannya sehingga menghasilkan kandidat obat presisi yang berfungsi sebagai pencegahan maupun untuk tindakan,” tambahnya.
Dr Wisnu menyebut, sejalan dengan inisiatif pengembangan precision medicine di Indonesia, terdapat peluang untuk mengembangkan precision medicine berbasis herbal (precision “herbal” medicine) yang mengoptimalkan biodiversitas tanaman obat Indonesia. Tanaman obat mengandung banyak senyawa aktif dan mengikuti prinsip multi-komponen multi-target yang mungkin sesuai dengan karakteristik penyakit kompleks atau genetik yang biasanya berasosiasi dengan gen-gen atau protein-protein.
Lebih lanjut ia mengutarakan, pendekatan big data dan network pharmacology dapat digunakan untuk memulai eksplorasi protein target pada penyakit kemudian melakukan pengayaan informasi dengan profil genetik dari pasien, biasanya berupa gen-gen yang memiliki penanda, misalnya Single Nucleotide Polymorphism (SNP), yang berasosiasi dengan fenotipe reaksi obat/senyawa yang merugikan. Informasi ini nantinya dipakai untuk membangun drug-target interaction untuk senyawa herbal.
Selanjutnya dihasilkan kandidat senyawa yang divalidasi dengan molecular docking dan simulasi dinamika molekuler. Pada ujung prosesnya dibuktikan secara in vitro, in vivo, serta uji klinis.
“IPB University sedang mengembangkan sistem pencarian obat herbal presisi, yakni prototipe I-PRIME (IPB Precision Herbal Medicine Discovery System). Prototipe ini dikembangkan dari dua aplikasi sebelumnya, yaitu IJAH Analytics dan Integrated Single Nucleotide Polymorphism Pipeline (ISNIP),” tutur Dr Wisnu.
IJAH Analytic merupakan aplikasi untuk memprediksi formula obat herbal berbasis machine learning. Sementara ISNIP digunakan untuk mengidentifikasi varian atau SNP. Visi pengembangan precision medicine untuk obat herbal ini telah disosialisasikan sejak tahun 2018.
“Apa yang kita kerjakan ini baru berupa kandidat yang potensial belum bisa langsung menyimpulkan bahwa senyawa ini pasti bermanfaat, perlu dilakukan uji di lab sesuai dengan protokol dan regulasi yang ditetapkan BPOM,” pungkasnya. (MW/Rz)