Prof Husin Alatas Sebut Pentingnya Menjaga Tiga Pilar Peradaban: Agama, Sains dan Budaya
Budaya, agama dan sains memiliki peran yang signifikan untuk bumi yang berkelanjutan. Indonesia merupakan contoh yang baik untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa interaksi budaya, agama dan sains sangat penting. Ketiga hal ini menjadi subjek penting untuk ke depan terutama berkaitan dengan bumi yang berkelanjutan untuk menopang kehidupan manusia.
Hal tersebut disampaikan oleh Prof Husin Alatas, Dosen IPB University dari Departemen Fisika Fakultas Manusia dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB University dalam International Conference on Indonesian Culture (ICONIC) Plenary Session 1 Culture as Driver and Enabler of Sustainable Living, sebuah konferensi lintas disiplin tentang kebudayaan Indonesia, 22/8.
Peneliti di Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSS) IPB University ini banyak terlibat dalam wacana seputar pengetahuan lokal dan wisdom yang erat kaitannya dengan budaya. Diskusi yang dihasilkan merupakan perenungan dalam memahami budaya dan agama yang sifatnya universal dan berlaku bagi semua orang dari berbagai latar belakang.
Ia mengatakan bahwa bumi merupakan planet yang teramat kecil di galaksi ini tapi memiliki ekosistem kompleks. Bumi ini adalah sebuah sistem yang terdiri dari berbagai macam subsistem (darat, laut, udara) dan subsistem makhluk hidup. Di dalam mempelajari sains belakangan ini, manusia dapat membedakan sistem ini dengan sistem lainnya karena memiliki sifat emergen. Bumi merupakan gabungan subsistem yang banyak tergabung dalam sebuah sistem besar. Serta memiliki properti emergen dan tidak dimiliki oleh subsistem lain.
“Selama ini dalam 400 tahun belakangan, manusia berusaha memahami bumi dengan pemahaman reduksionis atau newtonian dalam literatur fisika. Di dalam pemahaman ini, subsistem bumi dianggap sebagai sistem tunggal sehingga yang dipelajari, tidak memahami secara utuh sistem secara keseluruhan,” ungkapnya.
Belakangan, lanjutnya, muncul kesadaran di kalangan ilmuwan pengetahuan alam bahwa alam sebenarnya tidak bisa direduksi sehingga harus berpindah dari paradigma reduksionis menjadi paradigma holisme atau kompleksitas. Bumi ini harus dilihat secara holistik dan dipelajari secara paralel dengan menggunakan paradigma holisme.
Sementara manusia sendiri, merupakan makhluk yang kompleks, juga memiliki spiritualitas, memiliki jiwa, hati dan pikiran. Sifat emergen pada manusia adalah perilaku manusia itu sendiri. Di sisi lain tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban kini dibangun oleh tiga pilar budaya, agama dan sains. Interaksi antara ketiganya menjadikannya sebagai petunjuk atau properti emergen bagi perilaku masyarakat.
“Bagi saya atas dasar kontemplasi pengalaman selama ini, keberlanjutan bumi akan bergantung pada subsistem yang saya paparkan ini. Karena secara individu kita memiliki subsistem jiwa, hati dan pikiran. Sementara secara kemasyarakatan atau peradaban kita memiliki subsistem agama, sains dan budaya,” tambahnya.
Ia melanjutkan, kondisi bumi saat ini kurang baik, dialog antara agama, sains dan budaya kurang berkembang, Salah satu pasti lebih dominan daripada lainnya. Sehingga keberlanjutan bumi lebih bergantung pada interaksi budaya, agama, dan sains yang akan menghasikan emergen yang bagus atau buruk.
“Kemungkinannya, kerusakan bumi disebabkan oleh paradigma reduksionis atau cara berpikir yang mengutamakan kemaslahatan manusia tanpa mengindahkan kemaslahatan alam. Jalan keluarnya adalah dengan paradigma holistik, dengan melihat kompleksitas bumi secara utuh,” terangnya.
Di lain sisi, imbuhnya, budaya yang dibangun secara bottom up lebih menunjukkan ciri yang menyatu dengan alam karena sudah menerapkan cara pandang holistik. Sedangkan sains masih didominasi oleh paradigma reduksionis. Cara pikir yang reduksionis akan mengeksploitasi bumi secara masif sehingga pilihan yang tersisa untuk masa depan manusia hanya ada dua, punah atau pindah ke planet lain. (MW/Zul)
Resource Person : Prof Husin Alatas, ipb.ac.id